Beranda | Artikel
WAKTU-WAKTU SHOLAT
Senin, 5 Januari 2009

Mengerjakan shalat pada waktunya termasuk amalan yang paling dicintai oleh Allah. Sebagaimana diceritakan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu kepada Sa’ad bin Iyas. Beliau berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amal apakah yang paling dicintai Allah ‘Azza wa Jalla?” Beliau menjawab, “Shalat pada waktunya” kemudian aku berkata, “Kemudian apa?”. Beliau berkata, “Berbakti kepada kedua orang tua”. Kemudian aku berkata, “Kemudian apa?”. Beliau menjawab, “Berjihad di jalan Allah” (HR. Bukhari [527] dan Muslim [85]).

Hadits di atas mengandung dorongan agar menjaga shalat di waktu-waktu yang telah ditentukan untuk melakukannya. Sedangkan yang dimaksud shalat pada waktunya adalah mengerjakannya di waktu yang telah ditentukan, dan tidak mesti di awal waktu sebagaimana pendapat sebagian ulama. Adapun orang yang shalat di luar waktu seperti karena tertidur atau lupa, maka tidak termasuk amalan yang paling dicintai, meskipun amalan itu juga dicintai (diringkas dari Fath al-Bari 2/13, dengan sedikit tambahan dari Syarah Nawawi, 2/153). Oleh sebab itu al-Bukhari rahimahullah membawakan hadits di atas di bawah judul bab ‘Keutamaan shalat pada waktunya’ di dalam Kitab Mawaqit ash-Shalah (lihat Sahih al-Bukhari cet. Maktabah al-Iman, hal. 122)

Batasan waktu shalat
Shalat Zhuhur :

Dari sejak tergelincirnya matahari ke arah barat (zawal) sampai bayangan benda sama panjang dengan tingginya. Imam Malik dan sekelompok ulama yang lain berpendapat apabila bayangan benda sudah sama panjang dengan tingginya maka waktu ashar sudah masuk namun waktu zhuhur belum dianggap keluar, bahkan waktu untuk shalat zhuhur masih berlaku seukuran lamanya seseorang melakukan shalat empat rakaat untuk menunaikan shalat zhuhur, dan dia tidak dinilai melakukan shalat di luar waktu yang semestinya. Sedangkan Imam Syafi’i demikian juga an-Nawawi berpandangan bahwa waktu terakhir shalat zhuhur adalah apabila bayangan benda sama panjang dengan tingginya tanpa ada waktu tambahan sesudahnya seukuran shalat empat rakaat (Syarah Nawawi li Nawawi, 3/420, lihat juga Subul as-Salam, 2/6. cet. Dar Ibn al-Jauzi).

Shalat ‘Ashar :

Dari sejak bayangan benda sama panjang dengan tingginya hingga terbenam matahari. Waktu ‘Ashar ada dua macam : waktu jawaaz/boleh shalat dan waktu dharurah/terjepit. Waktu jawaaz sejak bayangan benda sama panjang dengan tingginya hingga matahari tampak menguning. Apabila matahari sudah menguning maka waktu itu adalah waktu yang boleh tapi makruh, melakukan shalat ketika itu tetap dinilai sah dan belum dianggap keluar waktu (lihat Syarah Nawawi, 3/420). Shalat ‘ashar yang sengaja dikerjakan di saat matahari sudah menguning disebut sebagai shalatnya orang munafiq. Adapun waktu dharurah berakhir dengan terbenamnya matahari.
Shalat Maghrib :

Dari sejak matahari tenggelam (kurang lebih selama 35 menit, sebagaimana dikatakan oleh Majijd al-Hamawi dalam ta’liqnya terhadap Matn al-Ghayah wa at-Taqrib hal. 59, kemudian setelah itu waktu yang makruh) sampai hilangnya warna kemerahan di langit

Shalat ‘Isyak :

Dari sejak hilangnya warna kemerahan di langit sampai pertengahan malam, ini disebut waktu jawaaz/boleh atau waktu mukhtar/terpilih (sebagian yang lain berpendapat sampai sepertiga malam pertama). Sedangkan waktu dharurat terus berjalan sampai datangnya fajar/waktu subuh (sebagian yang lain berpendapat ini masih termasuk waktu jawaz, namun apabila ditunda sampai menjelang adzan subuh maka makruh).

Shalat Subuh :

Awal waktunya sejak terbitnya fajar shadiq (yaitu fajar kedua, kurang lebih 20 menit setelah fajar pertama). Jika sengaja ditunda hingga muncul warna kemerahan di langit maka makruh. Dan terakhirnya adalah ketika terbitnya matahari (pembahasan ini disarikan dari al-Wajiz, hal. 60-62, al-Munakhkhalah, hal. 33 dengan sedikit penambahan dan perubahan, lihat juga Matn al-Ghayah wa at-Taqrib, hal.58-59).

Dalil-dalil ketentuan di atas adalah hadits-hadits berikut ini :

[1] Hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah didatangi Jibril ’alaihi salam. Jibril berkata kepada beliau, “Bangkit dan kerjakanlah shalat”, maka beliau mengerjakan shalat Zhuhur ketika matahari sudah tergelincir. Kemudian ia datang lagi di waktu ‘Ashar. Jibril berkata, “Bangkit dan kerjakanlah shalat”, maka beliau mengerjakan shalat ‘Ashar ketika bayangan segala sesuatu sama panjang dengan tingginya. Kemudian ia datang lagi di waktu Maghrib. Jibril berkata, “Bangkit dan kerjakanlah shalat”, maka beliau mengerjakan shalat Maghrib ketika matahari sudah tenggelam. Kemudian ia datang di waktu ‘Isyak. Jibril berkata, “Bangkit dan kerjakanlah shalat”, maka beliau mengerjakan shalat Isyak ketika warna merah di langit telah hilang. Kemudian ia datang di waktu Shubuh. Jibril berkata, “Bangkit dan kerjakanlah shalat”, maka beliau mengerjakan shalat Shubuh ketika fajar telah terbit, atau dia berkata, ketika fajar telah terang. Keesokan harinya Jibril datang lagi di waktu Zhuhur. Jibril berkata, “Bangkit dan kerjakanlah shalat”, maka beliau mengerjakan shalat Zhuhur ketika bayangan benda sama dengan tingginya. Kemudian ia datang di waktu ‘ashar. Jibril berkata, “Bangkit dan kerjakanlah shalat”, maka beliau mengerjakan shalat ‘Ashar ketika bayangan benda dua kali tingginya. Kemudian ia datang di waktu maghrib sama sebagaimana kemarin. Kemudian dia datang di waktu Isyak. Jibril berkata, “Bangkit dan kerjakanlah shalat”, maka nabi mengerjakan shalat ‘Isyak ketika separuh malam hampir berlalu, atau dia berkata ketika sepertiga malam telah berlalu. Kemudian ia datang di waktu fajar sudah sangat terang. Jibril berkata, “Bangkit dan kerjakanlah shalat”, maka beliau mengerjakan shalat shubuh. Kemudian Jibril berkata, “Di antara dua waktu inilah waktu untuk shalat.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Tirmidzi, shahih. Lihat al-Irwa’ 250, dinukil dari al-Wajiz hal. 59-60).

[2] Hadits Abu Qatadah radhiyallahu’anhu
Di dalam hadits yang cukup panjang, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang meremehkan [shalat] adalah orang yang tidak segera mengerjakan shalat kecuali sampai datang waktu shalat berikutnya” (HR. Muslim [681], Syarah Nawawi 3/488). an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa waktu setiap shalat lima waktu itu terus berlangsung sampai masuk waktu shalat sesudahnya. Hal ini berlaku sesuai keumumannya dalam semua shalat wajib kecuali subuh, karena waktunya tidak terus berlaku hingga zhuhur namun ia terhenti [habis] dengan terbitnya matahari, hal ini diambil dari mafhum (kesimpulan tersirat) hadits “Barangsiapa yang mendapati satu raka’at shalat Shubuh sebelum matahari terbit maka dia dinilai telah mendapatkan [waktu] shalat Subuh.” [HR. Muslim : 608]..” (Syarh Nawawi, 3/488).

[3] Hadits Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Waktu zhuhur adalah apabila matahari sudah tergelincir [ke barat] sampai panjang bayangan seorang lelaki sama panjang dengan tingginya, selama waktu ashar belum tiba. Waktu ashar adalah selama matahari belum menguning. Waktu shalat maghrib adalah selama warna merah [di langit] belum hilang. Sedangkan waktu shalat isyak berlangsung hingga separuh malam yaitu pertengahannya. Adapun waktu shalat shubuh adalah sejak terbitnya fajar, demikian seterusnya selama matahari belum terbit. Apabila matahari sudah terbit tahanlah dari melakukan shalat. Karena sesungguhnya matahari itu terbit di antara dua tanduk syaitan.” (HR. Muslim [612/1387]). ash-Shan’ani rahimahullah mengatakan, “Hadits tersebut menerangkan kententuan waktu sebagian besar shalat lima waktu, dari awalnya hingga berakhirnya waktu. …” (Subul as-Salam, 2/6. cet. Dar Ibn al-Jauzi).

[4] Hadits Anas bin Malik radhiyallahu’anhu
Anas berkata; Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (tentang orang yang mengakhirkan shalat ‘Ashar hingga matahari berada di antara dua tanduk syaitan, pent), “Itu adalah shalat orang munafik, dia duduk sambil mengamat-amati matahari. Sampai apabila matahari telah berada di antara dua tanduk syetan maka diapun mengerjakan shalat 4 raka’at dengan gerakan shalat yang amat cepat. Dia tidak mengingat Allah kecuali amat sedikit.” (HR. Muslim [622], Syarah Nawawi 3/431).

[5] Hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu
Beliau berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mendapatkan satu raka’at shalat ‘Ashar sebelum matahari terbenam maka dia telah mendapatkan shalat ‘Ashar” (HR. Muslim [608] Syarah Nawawi 3/416). Orang yang shalat ‘Ashar baru dapat satu raka’at kemudian matahari terbenam maka shalatnya sah dan dia boleh meneruskan bilangan raka’at yang kurang/belum dilaksanakan (Syarah Nawawi 3/416-417).

Faedah
an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para sahabat kami (ulama madzhab Syafi’i) rahimahumullah berpendapat bahwa shalat ‘Ashar memiliki lima macam waktu penunaian : waktu fadhilah/utama, waktu ikhtiyar/memilih, waktu jawaz bilaa karahah/boleh tanpa ada kemakruhan, jawaz ma’a karahah/boleh tapi makruh, dan waktu udzur. Waktu yang utama adalah di awal waktunya. Waktu ikhtiyar adalah setelah itu sampai bayangan benda dua kali ukuran panjangnya. Waktu boleh sampai sebelum matahari menguning. Waktu boleh namun makruh yaitu ketika matahari sudah menguning sampai akan terbenam. Sedangkan waktu udzur adalah di waktu zhuhur yaitu bagi orang yang mengerjakan shalat ‘ashar dijamak dengan zhuhur mungkin karena sedang bepergian atau karena turun hujan. Dalam kelima macam waktu ini shalat ‘Ashar dianggap ditunaikan pada waktunya, sedangkan apabila [bulatan] matahari sudah terbenam semuanya maka jadilah waktu untuk qadha’, wallahu a’lam.” (Syarah Nawawi, 3/420-421).

Waktu shalat yang disukai/mustahab
Ketentuan waktu shalat 5 waktu telah diterangkan beserta dalil-dalilnya. Berikut ini akan kami sebutkan waktu-waktu yang disenangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengerjakan shalat-shalat tersebut. Orang yang meniru beliau dengan ikhlas niscaya mendapatkan pahala yang lebih dari Allah Ta’ala.

[1] Disunnahkan mengerjakan shalat Zhuhur di awal waktu
Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu’anhu, dia berkata : Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat zhuhur ketika matahari mulai bergeser ke barat (HR. Muslim [618]). an-Nawawi rahimahullah berkata, “Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan disunnahkan mengerjakan shalat zhuhur di awal waktu, dan inilah pendapat yang dipegang oleh asy-Syafi’I dan jumhur (mayoritas ulama).” (Syarh Nawawi, 3/429). Hal ini berlaku apabila panas tidak sangat terik, sebagaimana ditunjukkan oleh dalil berikut ini.

[2] Disunnahkan menunda shalat zhuhur apabila panas sangat terik
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila panas sangat terik maka tunggulah sampai agak dingin untuk mengerjakan shalat, karena sesungguhnya panas yang sangat terik itu berasal dari pancaran panas Jahannam” (HR. Bukhari [536] dan Muslim [615]). Bukhari rahimahullah mencantumkan hadits ini di dalam bab ‘Menunda zhuhur hingga cuaca agak dingin ketika suasana sangat terik’ (lihat Sahih al-Bukhari, hal. 123. cet Maktabah al-Iman). al-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan bahwa perintah untuk menunda shalat hingga cuaca agak dingin adalah perintah anjuran/istihbab (lihat Fath al-Bari, 2/20). an-Nawawi rahimahullah menyatakan, hadits ini beserta hadits-hadits lain yang semakna menunjukkan disunnahkannya untuk menunda shalat [zhuhur] sampai cuaca agak dingin. Itulah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama dan ditegaskan oleh asy-Syafi’i rahimahullah. Bahkan inilah pendapat yang diikuti oleh mayoritas para sahabat berdasarkan banyaknya hadits sahih yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya dan juga memerintahkannya dalam berbagai kesempatan (lihat Syarah Nawawi, 3/426). al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, ungkapan Nabi ‘apabila panas sangat terik’ secara tersirat menunjukkan bahwa apabila panasnya tidak terik maka tidak disyariatkan untuk menunda [shalat zhuhur] hingga cuaca mendingin, demikian pula apabila cuacanya memang sudah dingin maka lebih tidak disyariatkan lagi untuk menundanya (lihat Fath al-Bari, 2/20).

[3] Disunnahkan menyegerakan shalat ‘Ashar
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu shalat ‘Ashar dalam keadaan matahari masih cukup tinggi dan masih agak panas. Sehingga apabila ada seseorang yang pergi menuju kota di sekitar Madinah (sesudah shalat) niscaya dia akan sampai di sana dalam keadaan matahari masih cukup tinggi (Bukhari [550] dan Muslim [621]). al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyegerakan shalat ‘Ashar, hal itu dikarenakan di situ disebutkan bahwa ketika orang-orang kembali dari pergi menempuh perjalanan sejarak 4 mil (ke kota lain di sekitar Madinah setelah shalat dikerjakan. pent) ternyata matahari masih cukup tinggi (Fath al-Bari, 2/35). Oleh sebab itu an-Nawawi memberikan judul untuk bab yang mencantumkan hadits ini dengan ‘Disunnahkan bergegas mengerjakan shalat ‘Ashar [di awal waktu]’ (lihat Syarh Nawawi, 3/429).

[4] Disunnahkan menyegerakan shalat Maghrib
Dari Rafi’ bin Khadij radhiyallahu’anhu, dia menceritakan, “Dahulu kami biasa mengerjakan shalat maghrib bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian setelah itu apabila ada salah seorang di antara kami yang pulang ke rumah maka dia masih bisa melihat tempat-tempat jatuhnya anak panahnya.” (HR. Bukhari [559] dan Muslim [637]). Hal itu menunjukkan bahwa mereka mengerjakan shalat maghrib di awal waktunya (lihat Fath al-Bari, 2/50 dan Syarh Nawawi, 3/442)

Dari Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Umatku senantiasa berada dalam kebaikan atau di atas fitrah selama tidak mengakhirkan shalat Maghrib sampai bintang-bintang mulai tampak bertaburan.” (HR. Abu Dawud [354]).

[5] Disunnahkan mengakhirkan shalat ‘Isyak bila memungkinkan
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat di akhir malam pada suatu saat sampai-sampai sebagian besar waktu malam telah berlalu dan sampai orang-orang yang di masjid tertidur. Kemudian beliau bersabda, “Inilah waktu yang paling utama (untuk shalat Isyak) seandainya aku tidak khawatir menyusahkan umatku (niscaya aku akan mengakhirkannya)” (HR. Muslim [638]). Yang dimaksud mengakhirkan adalah mengerjakannya dengan diakhirkan sebelum pertengahan malam, karena tidak ada seorang ulama pun yang berpendapat bahwa mengerjakan shalat Isyak selepas pertengahan malam adalah lebih utama (Syarh Nawawi, 3/444)

[6] Disunnahkan mengerjakan shalat Shubuh di awal waktu
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, Dahulu wanita-wanita beriman di jaman Nabi ikut menghadiri shalat Fajar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan tertutupi pakaian yang menyelimuti kepala dan tubuh mereka. Kemudian mereka kembali ke rumah-rumah mereka ketika shalat sudah selesai, tidak ada seorangpun yang mengenali mereka karena keadaan masih gelap” (HR. Bukhari [578] dan Muslim [645]). an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits-hadits ini terdapat hukum disunnahkannya menyegerakan shalat Shubuh, inilah mazhab Malik, Syafi’i, Ahmad dan Jumhur/mayoritas ulama,…” (Syarah Muslim 3/499). (pembahasan ini banyak diambil dari al-Wajiz hal. 61-62).

Kesimpulan : Dari keterangan-keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa yang lebih utama adalah mengerjakan shalat di awal waktu kecuali : [1] Shalat Isyak yaitu ketika kondisinya tidak menyusahkan jama’ah [maka sebaiknya diakhirkan], [2] Shalat Zhuhur yaitu ketika panas sangat terik [maka sebaiknya diakhirkan] (lihat Manhaj as-Salikin, hal 54-55).

Mendapatkan waktu shalat
Waktu shalat diperoleh minimal dengan mengerjakan 1 raka’at shalat sebelum keluar waktunya. Nabi bersabda, “Barangsiapa mendapatkan satu raka’at shalat sungguh dia telah mendapatkan (hukum waktu) shalat” (HR. Bukhari [580] dan Muslim [607], lihat Manhaj as-Salikin, hal. 54).

Waktu-waktu terlarang untuk shalat
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata : Ada tiga waktu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami dari mengerjakan shalat dan menguburkan orang yang mati diantara kami di waktu tersebut : yaitu ketika matahari mulai terbit hingga meninggi, ketika bayangan tepat dibawah benda hingga matahari tergelincir dari tengah-tengah, ketika matahari condong ke arah barat akan tenggelam hingga tenggelam (HR. Muslim [831]).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan alasan larangan ini yaitu karena ketika matahari terbit ia berada di antara dua tanduk syetan, dan ketika matahari tepat di atas kepala api jahannam sedang dinyalakan, sedangkan ketika matahari tenggelam ia berada diantara dua tanduk syetan, dan ketika itulah orang-orang kafir bersujud. Shalat yang terlarang dilakukan pada waktu-waktu tersebut adalah shalat sunnah mutlak yang tidak memiliki sebab, sehingga di waktu itu boleh mengerjakan shalat bagi orang yang mau mengqadha’ shalat yang terlewatkan baik itu shalat sunnah maupun shalat wajib, atau shalat sesudah wudhu, dan shalat tahiyatul masjid (diringkas dari al-Wajiz, hal. 64-66).


Artikel asli: http://abumushlih.com/waktu-waktu-shalat.html/